Rabu, 21 Desember 2011

Diary Biru





                Hanya petuah sang ibunda, diary biru masa kecilku dapat kunikmati. Rangkaian kisah penuh warna dilukiskannya terangkum manis dalam sebentuk kisah yang mampu kugambar dalam benak dengan jelas.
                Tepatnya tanggal 16 April tahun 1995 saat matahari mulai tergelincir ke ufuk barat . pada dimensi itulah mataku terbuka untuk menatap terangnya dunia. Sekejap tangisku pecah mengiringi detik-detik pertama aku hadir dalam benggala. Namun entahlah,,,, mereka tersenyum saat aku meledakkan tangis. Mereka bersyukur saat aku sekuat mungkin menggertarkan pita suaraku. Mereka,,,  ibunda,, ayah,, kakek,,  dan orang-orang yang mengikat darah denganku menyajikan senyuman untuk mengiringi bulir demi bulir air mataku yang terus luluh.
                Namun sebaliknya. Saat air kehidupan yang bermuara dalam bibir mungilku tangisku reda dalam sekejap. Bulir demi bulir yang merasuk kedalam tubuhku menghadirkan suatu kenikmatan yang belum pernah aku dapatkan sebelumnya. Senikmat inikah dunia??  Disaat aku terbuai dalam kenikmatan dunia yang pertama kurasa, senyuman yang sedari tadi mereka junjung tinggi , kini mulai berkolaborasi dengan linangan air mata. Ya. Mereka menangis memandang diriku yang tengah menikmati percikan surga. Tanpa terbesit dalam benakku waktu itu, “ Kenapa mereka tersenyum saat aku menjerit tangis namun meluluhkan air mata saat aku mengenyam keindahan.
                Aku mulai berjabat tangan dengan dunia  dari sebuah  desa kecil bernama Kabo Beluk , kecamatan Bayat , kabupaten Klaten. Aku bernaung disana dengan kedua orang tuaku, bersama nenek dari pihak ayah. Namun genap tiga tahun kemudian aku dan kedua orang tuaku beranjak dari Bayat karena tersayat duri kecil yang menyakiti.
                Aku mulai menyapa dunia baru di sebuah desa yang terletak di kaki Pegunungan Sumilir,. Desa Gunung Gambar, Labupaten Gunung Kidul. Sebuag tempat yang begitu dekat dengan alam. Penuh dengan kenyamanan dan ketentraman.
                Saat usiaku menginjak 6 tahun, aku mengenal bangku sekolah Dasar. Kurang lebih terbentang jarak 3km antara rumah dengan bangku sekolah. Namun hausnya akan ilmu tak membuat aku menyerah oleh jarak. Biarkan,, tanjakan curam yang melekat di pegunungan itu merekam sejarah perjuanganku dalam menggapai sebulir ilmu.


                Aku mengukir nilai sesempurna mungkin aku mampu agar sepadan dengan perjuangan yang aku curah. Namun sebuah bintang yang bertahta dalam raporku membuat teman-temanku iri. Kelas dua hingga tiga nyaris aku tak punya teman, mereka menjauhiku. Mereka membiarkanku mengadu nasib dalam kesendirian. `namun aku tidak rapuh hanya karena sekerikil kecil yang menggelitik kaki. Di dalam kesunyian aku mendapatkan ketenangan yang mungkin tidak pernah teraup oleh teman-temanku. Muncullah sebulir pelita yang memancar dalam lubuk hatiku. Meski mereka tak menorehku dalam kehidupannya, namun aku dapat menciptakan dunia sendiri. Sebentuk dunia yang berkilau saat aku menyinggahkan sebentuk senyuman dalam singgasananya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar