Hanya
petuah sang ibunda, diary biru masa kecilku dapat kunikmati. Rangkaian kisah
penuh warna dilukiskannya terangkum manis dalam sebentuk kisah yang mampu kugambar
dalam benak dengan jelas.
Tepatnya
tanggal 16 April tahun 1995 saat matahari mulai tergelincir ke ufuk barat .
pada dimensi itulah mataku terbuka untuk menatap terangnya dunia. Sekejap
tangisku pecah mengiringi detik-detik pertama aku hadir dalam benggala. Namun
entahlah,,,, mereka tersenyum saat aku meledakkan tangis. Mereka bersyukur saat
aku sekuat mungkin menggertarkan pita suaraku. Mereka,,, ibunda,, ayah,, kakek,, dan orang-orang yang mengikat darah denganku
menyajikan senyuman untuk mengiringi bulir demi bulir air mataku yang terus
luluh.
Namun
sebaliknya. Saat air kehidupan yang bermuara dalam bibir mungilku tangisku reda
dalam sekejap. Bulir demi bulir yang merasuk kedalam tubuhku menghadirkan suatu
kenikmatan yang belum pernah aku dapatkan sebelumnya. Senikmat inikah
dunia?? Disaat aku terbuai dalam
kenikmatan dunia yang pertama kurasa, senyuman yang sedari tadi mereka junjung
tinggi , kini mulai berkolaborasi dengan linangan air mata. Ya. Mereka menangis
memandang diriku yang tengah menikmati percikan surga. Tanpa terbesit dalam
benakku waktu itu, “ Kenapa mereka tersenyum saat aku menjerit tangis namun
meluluhkan air mata saat aku mengenyam keindahan.
Aku
mulai berjabat tangan dengan dunia dari
sebuah desa kecil bernama Kabo Beluk ,
kecamatan Bayat , kabupaten Klaten. Aku bernaung disana dengan kedua orang tuaku,
bersama nenek dari pihak ayah. Namun genap tiga tahun kemudian aku dan kedua
orang tuaku beranjak dari Bayat karena tersayat duri kecil yang menyakiti.
Aku
mulai menyapa dunia baru di sebuah desa yang terletak di kaki Pegunungan
Sumilir,. Desa Gunung Gambar, Labupaten Gunung Kidul. Sebuag tempat yang begitu
dekat dengan alam. Penuh dengan kenyamanan dan ketentraman.
Saat
usiaku menginjak 6 tahun, aku mengenal bangku sekolah Dasar. Kurang lebih
terbentang jarak 3km antara rumah dengan bangku sekolah. Namun hausnya akan
ilmu tak membuat aku menyerah oleh jarak. Biarkan,, tanjakan curam yang melekat
di pegunungan itu merekam sejarah perjuanganku dalam menggapai sebulir ilmu.
Aku
mengukir nilai sesempurna mungkin aku mampu agar sepadan dengan perjuangan yang
aku curah. Namun sebuah bintang yang bertahta dalam raporku membuat
teman-temanku iri. Kelas dua hingga tiga nyaris aku tak punya teman, mereka
menjauhiku. Mereka membiarkanku mengadu nasib dalam kesendirian. `namun aku
tidak rapuh hanya karena sekerikil kecil yang menggelitik kaki. Di dalam
kesunyian aku mendapatkan ketenangan yang mungkin tidak pernah teraup oleh
teman-temanku. Muncullah sebulir pelita yang memancar dalam lubuk hatiku. Meski
mereka tak menorehku dalam kehidupannya, namun aku dapat menciptakan dunia
sendiri. Sebentuk dunia yang berkilau saat aku menyinggahkan sebentuk senyuman
dalam singgasananya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar